Desember 20, 2011

Akulah Stadion Benteng, Aku Dibanggakan Tapi Aku Terabaikan

Inilah aku dengan segala kisah. Sebelumnya perkenalkan, namaku Stadion Benteng. Memiliki luas 44.000 meter persegi. Aku terletak di Jalan Taman Makam Pahlawan Taruna Kota Tangerang. Aku adalah stadion kebanggaan di kota 1001 Industri tersebut. Benar, akulah saksi bisu pemilik rahasia besar atas perkembangan sepak bola di sana. Bersama denyut keruh sungai Cisadane, aku gagah merekam setiap degup gembira insan bermain bola. Aku bangga saat ribuan bahkan belasan ribu orang memadati setiap sudut tribunku.

Tapi kau tahu kawan? Di balik kegagahan tersebut aku bersedih. Bayangkan, jika ada pertandingan besar aku selalu saja dirusak oleh para supporter yang enggan membeli tiket. Mungkin, buang sampah dan kencing sembarangan masih bisa ditolerir karena aku pun mengerti bahwa banyak fasilitas publik terbengkalai. Tapi aku sedih jika para penonton merusak setiap pintu masuk, mencorat-coret tembok dan mengobrak-abrik habis-habisan jika kerusuhan terjadi
Dan kau tahu kawan? Di balik kegagahan tersebut aku malu. Bayangkan, tak sedikit anak-anak berkata “wuidih, dalem amat nih lumpurnya,” tatkala mereka menginjak rumput di dalam kotak pinalti sesaat setelah pertandingan yang dibarengi hujan selesai. Tak sedikit pula orang-orang berkata bahwa aku teramat jelek. Bahkan banyak jurnalis menilaiku D minus. Terlebih untuk sistem drainase dan peneranganku.
Terkadang, iri hati menggerayang ketika melihat megahnya gedung-gedung anggota dewan dan pemerintahan di sana. Megahnya tata ruang kota di ‘TangCity‘. Megahnya bangunan-bangunan kesombongan seperti gerbang baru yang ada di Tigaraksa sana.
Terkadang iri hati menggerayangi pula ketika mendengar kabar dari kota-kota nan jauh di sana, yang jauh dari atribut ‘Kota Penyangga Ibukota‘, Kota tersebut memiliki stadion bertaraf Internasional. Sebut saja Stadion Maguwohardjo di Sleman. Sebut saja Stadion Si Jalak Harupat di Soreang. Sebut saja Gelora Palaran dan Segiri di Samarinda. Mereka adalah stadion yang mampu membuat permainan sepak bola menjadi cantik meskipun hujan mendera.
Aku tahu aku memang tak se-strategis TangCity, gedung pemerintahan ataupun bangunan megah seperti gerbang di Tigaraksa sana. Aku pun sadar jika dana APBD tak sepantasnya digunakan untuk merombak habis-habisan diriku. Karena aku tahu, masih banyak fasilitas publik yang teramat buruk rupa di berbagai pelosok Kecamatan sana.
Tapi yang jelas, dana APBD pun tak selayaknya digunakan untuk membiayai operasional Persita dan Persikota. Ya, karena Persita dan Persikota adalah sebuah badan yang sudah seharusnya mandiri sesuai dengan fungsi dan tujuannya. Berbeda denganku yang hanyalah sebuah fasilitas publik yang terabaikan. Tapi di sisi lain, aku mampu menggerakan laju rupiah bermilyaran, memberi harapan kepada sebagian rakyat jelata bahkan terkadang gembel yang terbata-bata.
Satu pesan terakhir dariku, sebuah pesan sinting untuk sebagian orang disana. Janganlah sewenang-wenang dan arogan dalam mendesain sebuah bangunan publik. Buatlah banyak lapangan sepakbola yang layak di pelosok kecamatan sana. Hentikanlah penggusuran ruang publik untuk komersialisasi sebagian orang. Niscaya jika itu dilakukan, Tangerang bahkan ibu pertiwi akan lebih berprestasi